Sabtu, 14 Desember 2013

Si Kecil Ilo

Banyak hal kecil yang kita anggap sepele yang terjadi di sekitar kita namun suatu hari kelak dampaknya luar biasa. Hari itu setelah mengunjungi pembangkit listrik nuklir di Oconee, di perjalanan kami berbincang
tentang motor. Sebuah motor gede Harley lewat dan kemudian jadi tema pembicaraan kami. Aku, Walid, Ngor dan Tauqeer, kawan dari India yang mengantar kami bersama putranya Iman.  Aku katakan bahwa aku juga punya motor di Indonesia, tapi motor kecil alias bebek. Rupanya Iman tertarik ingin melihat gambarnya dan saya mengajaknya mampir ke apartemen.  Kubuka laptopku dan kuperlihatkan gambar bebekku yang setia menemaniku 16 km setiap hari ke tempat ngajar. Dia antusias. Tapi bukan cuma itu. Kuperkenalkan pada mereka istri dan anak-anakku. Kebetulan brother Tauqeer juga punya anak 5 sepertiku dan salah satu anak kami punya nama yang sama yaitu Ihsan. Tapi  bukan itu yang akan kuceritakan. Tiba-tiba muncul gambar seorang anak kecil memegang sebundel buku dan sebuah keranjang beserta sebuah botol plastik. Ya aku ingat, itu gambar Ilo, seorang anak kelas 4 SD yang baru pulang dari jualan kue jalang kote (pastal). Botolnya berisi kuah sambal.  Ia baru saja kami beri sebundel buku tulis sumbangan seorang kawan yang bekerja di Batam. Kawan itu ingin menyalurkan infaknya untuk membantu anak-anak  miskin yang bersekolah.
            Ilo tinggal  bersama  bibinya yang membuatkan kue untuk dijual. Dia dapat 10% dari hasil penjualannya. Kalau lagi beruntung, dia bisa menjual 100 biji kue seharga 500 rupiah per hari dari jam 2 sampai jam 5.30. Uang 5 ribu itulah yang dia simpan untuk keperluan sekolahnya. Ayahnya tak ada kabar berita. Dia merantau ke Malaysia sebagai buruh. Di tahun pertama,  ayahnya masih sering kirim uang. Namun setelah itu ayahnya seolah raib. Entah apa yang terjadi dengannya. Apakah masih hidup atau sudah mengikuti jejak buruh-buruh lain yang dizalimi. Semenjak itu, ibunya harus kerja dan tawaran itu ada di Makassar, ibukota propinsi yang berjarak 50 km dari tempat Ilo. Ibunya kadang datang sebulan atau bahkan 3 bulan sekali untuk menjenguk Ilo dan memberinya sedikit saku. Gaji seorang buruh di kawasan industri hanyalah cukup untuk mempertahankan hidup.
            Saya kenal Ilo suatu siang ketika hujan deras. Di tengah derasnya hujan, kulihat dia basah kuyup menggigil kedinginan. Plastik yang dia bawa digunakan untuk melindungi dagangannya. Dia terus berteriak seperti biasa menawarkan dagangannya.
“Jalang kote,…..jalang kote…..”.
Dengan irama khas dia berteriak mengusik pembeli. Namun karena hujan deras, suarany tertelan dalam bising hujan. Dia terus berteriak untuk mengalahkan suara hujan sambil menggigil. Energinya terkuras dingin yang menusuk. Wajahnya basah namun tak jelas apakah karena air mata sedih karena tak seorangpun yang memanggilnya atau karena air hujan. Ah, anak sekecil itu sudah harus menanggung beban hidup.
“Jalang kote!” Aku memanggilnya di sela kerjaan sambilanku menginstal komputer sepulang ngajar. Dengan gembiranya anak itu menghampiriku. Ada sinar di balik korne matanya yang lembab. Seolah menemukan harapan baru di hari yang mendung dan basah. Kutak tahan melihat pemandangan yang mengiris hati menyesakkan dada. Bajunya lengket ke badan kurusnya yang hitam. Rambutnya yang ikal melengket oleh air hujan. Dia tak bisa menyembunyikan getaran tubuhnya yang kedinginan. Giginya yang beradu. Namun dengan semangat, dibukanya plastik pelindung kuenya. Dia tak rela kalau dagangannya basah sehingga tidak laku. Karena hanya itulah harapannya untuk bisa bertahan hidup dan tetap bersekolah. Badannya tak dihiraukannya. Buat dia, mantel adalah barang mewah. Dadaku sesak melihat sosok bocah itu. Kubertarung melawan rasa ibaku yang berusaha mendobrak pertahanan air mataku. Kuberhasil, walau kutahu hati kecilku telah banjir air mata. Kutak ingin memperlihatkan kesedihan di depannya saat dia sendiri berusaha tersenyum karena gembira akhirnya ada yang mau beli dagangannya. Kutak bisa membayangkan, bagaimana kalau anak yang berjualan itu adalah anakku, darah dagingku. Anak yang harusnya masih ingin bermain dengan teman-temannya sepulang sekolah. Anak yang ingin merasakan hangatnya pelukan ibunya saat dingin seperti saat ini. Atau anak yang masih mendambakan bermain dengan ayahnya sambil menceritakan pengalaman di sekolahnya. Ah, kasihan kau Ilo. Kau harus berjualan untuk mempertahankan hidupmu. Ayah ibumu sudah tak ada di sisimu di saat kau membutuhkan mereka. Kau hanya bisa menatap sayu saat kawan-kawan kamu bermain sepulang sekolah. Kamu hanya bisa meringis sendu saat menyaksikan kawanmu di jemput ibunya dengan payung. Dan kamu hanya bisa menunduk syahdu merindukan pelukan hangat ibumu yang juga sibuk bekerja mempertahankan hidup. Saat melihat seorang anak yang tersenyum bahagia dibonceng ayahnya, kamu hanya bisa tersenyum kecut. Karena buatmu itu adalah impian semu yang menyayat hati.
            Akhirnya kuborong semua dagangan Ilo kecil. Bukan karena nama kecil kami yang sama. Tapi hanya itu yang bisa kulakukan saat ini.  Kulihat cahaya di matanya bersinar merekahkan senyum mengambang di wajah yang tak berdosa. Ah, betapa bahagianya melihat senyummu. Disaat harga sebuah senyum sangat mahal buat orang tertentu yang telah kelebihan harta namun kahabisan hati nurani. Atau disaat senyum hanya muncul musiman di musim kampanye. Atau di saat senyum jadi senjata untuk meraih tujuan lain.
            Setelah hari itu, keluarga kami mulai akrab dengannya. Kuhadiahkan mantel buatnya. Sepulang jualan, dia main dengan anak-anakku. Bahkan Ilo sering ditemani anakku Abdullah yang kelas 2 SD untuk memboncengnya jualan biar lebih cepat. Dan hari itu, setelah keberikan buku tulis, entah kenapa aku ingin memotretnya. Aku kagum dengan semangat hidupnya. Dan aku ingin mengabadikannya untuk keperlihatkan pada siswaku. Aku ingin gambar menjadi inspirasi murid-muridku untuk berhasil walau didera kemiskinan. Dan ternyata, kejadian kecil itu menoreh hasil luar biasa saat brother Tauqeer melihat gambarnya.
            Tauqeer yang sekarang menjadi seorang dokter di Seneca, South Carolina, ternyata memiliki pengalaman hidup yang tak jauh beda dengan Ilo. Dia bersaudara 3 orang laki-laki. Saat dia masih kecil, ayahnya sudah wafat. Ibunya menjadi single parent yang harus bekerja keras membiayai sekolah mereka. Dan itu berbuah manis. Ketiganya sudah sukses di Amerika. Dan mereka memboyong ibu mereka tinggal bersama mereka. Gantian dari satu rumah ke rumah anaknya yang lain.
“Brother Muhammad”, demikian dia memanggil namaku.
“Aku tahu betapa susahnya sebuah keluarga tanpa ayah. Aku ingin membantu anak itu dan juga anak-anak yang lain. Insya Allah sebelum ke Jerman pekan depan, saya akan titip chek 2.000 $”.
“Ah, terima kasih brother. Aku tak tahu betapa bahagianya anak itu dan anak-anak yang lain. Semoga Allah memurahkan rezkimu, merahmati keluargamu dan menyelamatkan setiap perjalananmu!”
            Kemarin, chek itu sudah kucairkan di Bank. Nilai 2.000$ sangat besar di Indonesia. Nilainya lebih 20 jt. Kubayangkan senyum bahagia di  wajah Ilo. Selama ini dia mengimpikan untuk bisa memiliki sepeda sendiri. Sepeda yang bisa dipake ke sekolah dan berjualan kue. Ya, saya telah berjanji untuk membelikannya sepeda. Dan kini saatnya untuk mewujudkannya.
             

Tidak ada komentar:

Posting Komentar