Banyak hal kecil yang kita anggap sepele yang terjadi di sekitar kita
namun suatu hari kelak dampaknya luar biasa. Hari itu setelah
mengunjungi pembangkit listrik nuklir di Oconee,
di perjalanan kami berbincang
tentang motor. Sebuah motor gede Harley
lewat dan kemudian jadi tema pembicaraan kami. Aku, Walid, Ngor dan
Tauqeer, kawan dari India yang mengantar kami bersama putranya Iman.
Aku katakan bahwa aku juga punya motor di Indonesia,
tapi motor kecil alias bebek. Rupanya Iman tertarik ingin melihat
gambarnya dan saya mengajaknya mampir ke apartemen. Kubuka laptopku dan
kuperlihatkan gambar bebekku yang setia menemaniku 16 km setiap hari ke
tempat ngajar. Dia antusias. Tapi bukan
cuma itu. Kuperkenalkan pada mereka istri dan anak-anakku. Kebetulan
brother Tauqeer juga punya anak 5 sepertiku dan salah satu anak kami
punya nama yang sama yaitu Ihsan. Tapi bukan itu yang akan kuceritakan.
Tiba-tiba muncul gambar seorang anak kecil
memegang sebundel buku dan sebuah keranjang beserta sebuah botol
plastik. Ya aku ingat, itu gambar Ilo, seorang anak kelas 4 SD yang baru
pulang dari jualan kue jalang kote (pastal). Botolnya berisi kuah
sambal. Ia baru saja kami beri sebundel buku tulis
sumbangan seorang kawan yang bekerja di Batam. Kawan itu ingin
menyalurkan infaknya untuk membantu anak-anak miskin yang bersekolah.
Ilo tinggal bersama bibinya yang
membuatkan kue untuk dijual. Dia dapat 10% dari hasil penjualannya.
Kalau lagi beruntung, dia bisa menjual 100 biji kue seharga 500 rupiah
per hari dari jam 2 sampai jam 5.30. Uang 5 ribu itulah yang dia simpan
untuk keperluan sekolahnya. Ayahnya tak ada kabar
berita. Dia merantau ke Malaysia sebagai buruh. Di tahun pertama,
ayahnya masih sering kirim uang. Namun setelah itu ayahnya seolah raib.
Entah apa yang terjadi dengannya. Apakah masih hidup atau sudah
mengikuti jejak buruh-buruh lain yang dizalimi.
Semenjak itu, ibunya harus kerja dan tawaran itu ada di Makassar,
ibukota propinsi yang berjarak 50 km dari tempat Ilo. Ibunya kadang
datang sebulan atau bahkan 3 bulan sekali untuk menjenguk Ilo dan
memberinya sedikit saku. Gaji seorang buruh di kawasan industri
hanyalah cukup untuk mempertahankan hidup.
Saya
kenal Ilo suatu siang ketika hujan deras. Di tengah derasnya hujan,
kulihat dia basah kuyup menggigil kedinginan. Plastik yang dia bawa
digunakan untuk melindungi dagangannya. Dia terus berteriak seperti
biasa menawarkan dagangannya.
“Jalang kote,…..jalang kote…..”.
Dengan
irama khas dia berteriak mengusik pembeli. Namun karena hujan deras,
suarany tertelan
dalam bising hujan. Dia terus berteriak untuk mengalahkan suara hujan
sambil menggigil. Energinya terkuras dingin yang menusuk. Wajahnya basah
namun tak jelas apakah karena air mata sedih karena tak seorangpun yang
memanggilnya atau karena air hujan. Ah, anak
sekecil itu sudah harus menanggung beban hidup.
“Jalang kote!”
Aku memanggilnya di sela kerjaan sambilanku menginstal komputer sepulang
ngajar. Dengan gembiranya anak itu menghampiriku. Ada sinar di balik
korne matanya yang lembab. Seolah
menemukan harapan baru di hari yang mendung dan basah. Kutak tahan
melihat pemandangan yang mengiris hati menyesakkan dada. Bajunya lengket
ke badan kurusnya yang hitam. Rambutnya yang ikal melengket oleh air
hujan. Dia tak bisa menyembunyikan getaran tubuhnya
yang kedinginan. Giginya yang beradu. Namun dengan semangat, dibukanya
plastik pelindung kuenya. Dia tak rela kalau dagangannya basah sehingga
tidak laku. Karena hanya itulah harapannya untuk bisa bertahan hidup dan
tetap bersekolah. Badannya tak dihiraukannya.
Buat dia, mantel adalah barang mewah. Dadaku sesak melihat sosok bocah
itu. Kubertarung melawan rasa ibaku yang berusaha mendobrak pertahanan
air mataku. Kuberhasil, walau kutahu hati kecilku telah banjir air mata.
Kutak ingin memperlihatkan kesedihan di depannya
saat dia sendiri berusaha tersenyum karena gembira akhirnya ada yang
mau beli dagangannya. Kutak bisa membayangkan, bagaimana kalau anak yang
berjualan itu adalah anakku, darah dagingku. Anak yang harusnya masih
ingin bermain dengan teman-temannya sepulang
sekolah. Anak yang ingin merasakan hangatnya pelukan ibunya saat dingin
seperti saat ini. Atau anak yang masih mendambakan bermain dengan
ayahnya sambil menceritakan pengalaman di sekolahnya. Ah, kasihan kau
Ilo. Kau harus berjualan untuk mempertahankan hidupmu.
Ayah ibumu sudah tak ada di sisimu di saat kau membutuhkan mereka. Kau
hanya bisa menatap sayu saat kawan-kawan kamu bermain sepulang sekolah.
Kamu hanya bisa meringis sendu saat menyaksikan kawanmu di jemput ibunya
dengan payung. Dan kamu hanya bisa menunduk
syahdu merindukan pelukan hangat ibumu yang juga sibuk bekerja
mempertahankan hidup. Saat melihat seorang anak yang tersenyum bahagia
dibonceng ayahnya, kamu hanya bisa tersenyum kecut. Karena buatmu itu
adalah impian semu yang menyayat hati.
Akhirnya kuborong semua dagangan Ilo kecil. Bukan karena nama kecil
kami yang sama. Tapi hanya itu yang bisa kulakukan saat ini. Kulihat
cahaya di matanya bersinar merekahkan senyum mengambang di wajah yang
tak berdosa. Ah, betapa bahagianya melihat
senyummu. Disaat harga sebuah senyum sangat mahal buat orang tertentu
yang telah kelebihan harta namun kahabisan hati nurani. Atau disaat
senyum hanya muncul musiman di musim kampanye. Atau di saat senyum jadi
senjata untuk meraih tujuan lain.
Setelah hari itu, keluarga kami mulai akrab dengannya. Kuhadiahkan
mantel buatnya. Sepulang jualan, dia main dengan anak-anakku. Bahkan Ilo
sering ditemani anakku Abdullah yang kelas 2 SD untuk memboncengnya
jualan biar lebih cepat. Dan hari itu, setelah keberikan
buku tulis, entah kenapa aku ingin memotretnya. Aku kagum dengan
semangat hidupnya. Dan aku ingin mengabadikannya untuk keperlihatkan
pada siswaku. Aku ingin gambar menjadi inspirasi murid-muridku untuk
berhasil walau didera kemiskinan. Dan ternyata, kejadian
kecil itu menoreh hasil luar biasa saat brother Tauqeer melihat
gambarnya.
Tauqeer yang sekarang menjadi seorang
dokter di Seneca, South Carolina, ternyata memiliki pengalaman hidup
yang tak jauh beda dengan Ilo. Dia bersaudara 3 orang laki-laki. Saat
dia masih kecil, ayahnya sudah wafat. Ibunya menjadi single parent yang
harus bekerja keras membiayai sekolah mereka. Dan itu berbuah manis.
Ketiganya sudah sukses di Amerika. Dan mereka
memboyong ibu mereka tinggal bersama mereka. Gantian dari satu rumah ke
rumah anaknya yang lain.
“Brother Muhammad”, demikian dia memanggil namaku.
“Aku tahu betapa susahnya sebuah keluarga tanpa ayah. Aku ingin membantu anak
itu dan juga anak-anak yang lain. Insya Allah sebelum ke Jerman pekan depan, saya akan titip chek 2.000 $”.
“Ah,
terima kasih brother. Aku tak tahu betapa bahagianya anak itu dan
anak-anak yang lain. Semoga Allah memurahkan rezkimu, merahmati
keluargamu dan menyelamatkan setiap perjalananmu!”
Kemarin, chek itu sudah kucairkan di Bank. Nilai 2.000$ sangat besar di
Indonesia. Nilainya lebih 20 jt. Kubayangkan senyum bahagia
di wajah Ilo. Selama ini dia mengimpikan untuk bisa memiliki sepeda
sendiri. Sepeda yang bisa dipake ke sekolah dan berjualan kue. Ya, saya
telah berjanji untuk membelikannya sepeda. Dan kini saatnya untuk
mewujudkannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar