PERPISAHAN,
ANTARA PANGKEP DAN CLEMSON
“Abi,
jangan lupa belikan VCD Laskar Pelangi dan Ultramen ya !”
“Ya,
Insya Allah kalau Abi sudah pulang, sabar ya?”
Kalimat itu selalu membuka percakapan setiap kali kami chatting. Anak-anakku sangat ingin menonton filem Laskar Pelangi yang lagi booming, tapi di daerah kami tidak ada bioskop. Jadinya harus menunggu VCD aslinya direlease.
Kalimat itu selalu membuka percakapan setiap kali kami chatting. Anak-anakku sangat ingin menonton filem Laskar Pelangi yang lagi booming, tapi di daerah kami tidak ada bioskop. Jadinya harus menunggu VCD aslinya direlease.
Lalu
kemudian Ammar, anak ke-4 ku itu mulai memonyongkan mulutnya, membelalakkan
matanya. Akupun pura-pura ketakutan dan kudengar tawa kecilnya dari speaker
laptopku. Wajahnya yang lucu bergerak perlahan dalam layar kecil yang agak
kabur. Mungkin karena koneksi internet yang kurang bagus di Indonesia. Lalu
bergantian Anisa, putri tertua kami.
“Abi, tolong dong kasih
lihat saljunya!”
“Wah, di negara bagian
tempat Abi memang dingin, tapi belum
sampe
turun salju. Paling kalau pagi baru ada lapisan es di atap mobil yang parkir
depan apartemen”.
“Mana program robot
yang Abi janjikan itu?” Tanya Abdullah anak ke-2ku yang sudah kelas 3.
“Mentor Abi baru
nyiapin programnya, nanti dikasih dengan alat peraganya, sabar yah!”
“Abi-abi, saya mau ke
dekat Abi...!” Tiba-tiba Abdurrahman anak ke-3 ku ikut nimbrung.
“Sayang, disini jauh
sekali dari Indonesia. Butuh 2 hari perjalanan naik pesawat baru sampe”, kataku
lirih sambil menahan perih kerinduan. Ingin rasanya kumenembus layar LCD
laptopku dan memeluk mereka satu-persatu. Baru 2 minggu kutinggalkan mereka, rasanya
sudah seperti setahun.
Layar memunculkan anak ke-5ku yang baru berumur 7 bulan,
Nawfal. Istriku menggendongnya.
“Semalam nawfal agak
demam, kayaknya kena serampah. Tapi panasnya udah keluar, so jangan cemas yah!”
Hibur istriku.
“Syukurlah, kabar
adindaku sendiri gimana? Apa masih sakit gigi?”
“Alhamdulillah sudah
agak baikan, insya Allah habis terima gajinya abi baru ditambal, soalnya
bayarnya mahal”.
“Abi sebenarnya mau
ngririm duit, tapi belum cair dana dari cheknya”.
“Ah, nggak usah
dipaksakan. Udah dulu ya kandaku, nanti kami bayarnya mahal. Kalau disitukan
gratis”.
“Semangaaaat Abi, semangaaaat!” Anak-anakku berteriak dari balik
layar. Mereka diajarin umminya untuk memberiku semangat agar bertahan sampe
program selesai 5 bulan. Yah, 5 bulan. Sebuah program pelatihan Guru
international yang diikuti 78 orang dari 16
negara berkembang. Kami akan kuliah satu semester sambil ikut ngajar di
SMA di Amerika. Aku ditempatkan di South Carolina bersama 13 orang guru
lainnya.
----------------------
“Yeah, another day” kata Victor, roommate*-ku dari South
Afrika. Desahan nafasnya mengisyarakatkan ketersiksaan menghitung hari yang
terasa bergerak seperti
keong.
Diapun sudah berkeluarga denga 3 orang anak. Namun sayangnya keluarganya belum
biasa pake internet untuk komunikasi, jadinya dia hanya puas mendengar suara
istri dan anak-anaknya lewat telepon. Pagi itu seperti biasa kami berjalan
menunggu bus yang lewat setiap 30 menit. Suhu dingin mendekati 0oC
terasa menusuk hingga ke tulang-tulang. Udara kering dengan kelembaban cuma
sekitar 50% memperparah suasana. Dingin tapi kering. Bibir sampe pecah-pecah
dan kadang berdarah. Wintercoat yang saya bawa seolah tak mempan menahan
dingin. Padahal di dalamnya saya sudah pake jaket kain, baju luar dan baju dalam. Empat susun baju tak mampu
mengusir dingin winter awal Januari. Kos tangan dan penutup kepala cukup
membantu memeperlambat pembekuan aliran darah.
Tapi kalau terlalu lama diluar, bisa parah juga akibatnya, apatah lagi
buat pendatang yang tidak terbiasa dengan iklim dingin.
Pohon-pohon
menggugurkan daunnya, mungkin karena tak sanggup menyuplai air atau karena
keringnya udara di kedinginan. Bahkan kulit batangnya ikut terkelupas seolah
telanjang. Jadinya seperti tengkorak pohon. Pemandangan yang unik, seolah-olah
pohon itu sudah mati. Tapi tetap bertahan dengan kokohnya. Saat Spring (musim
semi) tiba, seolah daun-daun yang berguguran kembali pada rantingnya, pepohonan
kembali memakai baju yang dilepaskannya. Hidup, bersemi kembali sesuai nama
musimnya.
Burung
gagak hitam beterbangan seolah menantang hawa dingin. Tupai-tupai kecil berlompatan
dari satu dahan kering ke dahan lainnya. Kadang turun ke tanah dengan lincahnya
memungut sesuatu dan berlari kembali ke atas pohon. Seolah mengejek manusia
yang kedinginan walaupun sudah pake wintercoat. Hanya kedua jenis mahluk itu
yang bertahan bermain di luar.
Dari
kejauhan muncullah bus yang akan mengantar kami ke Clemson University. Clemson
Area Transit (CAT) seolah ingin mempertegas ikon kota Clemson yaitu tapak
harimau alias kucing besar dengan warna khasnya, orange. Bus berhenti, dengan ramahnya sang sopir seorang wanita menegur setiap penumpang yang naik.
“Hello, how are you?.
Bayanganku kembali ke tanah air. Pagi sebelum keberangkatan, kubawa Ammar dan
Abdurrahman berkeliling dengan memakai bentor, sebuah kendaraan yang
menggabungkan becak dan motor. Kupeluk
kedua anakku itu. Abdullah berangkat ke rumah omnya kemarin, seolah tak ingin
berada di detik-detik keberangkatanku. Sepanjang jalan, kunikmati dekapan kedua
anakku.
“Ammar mau beli sepeda?”
tanyaku lirih.
“Ya, abi. Aku mau
sepeda. Kan baru Abdurrahman sama Abdullah yang ada sepedanya”.
“Nanti ya, kita singgah
di toko sepeda. Kita ke jembatan baru dulu ya, abi mau ambil foto di situ”.
Jembatan
baru membelah kota Pangkep, sebuah kota
kecil di Sulawesi Selatan. Pangkep merupakan singkatan dari Pangkajene dan
Kepulauan. Dinamakan kepulauan karena terdapat hampir 100 pulau di kabupaten
kami yang bahkan ada sampai berbatasan dengan Nusa Tenggara, Bali dan Jawa.
Penduduk di kepulauan tersebut lebih suka berbelanja ke Lombok, Bali atau
bahkan ke Jawa dari pada ke kota Pangkep karena perhitungan jarak.
Kuambil beberapa gambar di atas jembatan. Foto bentor,
bendi* dan becak yang lewat kuambil sebagai kendaraan khas Pangkep. Mungkin suatu saat akan bermanfaat di US kelak,
pikirku.
Foto anak-anakku dengan latar belakang sungai Pangkajene. Ya, Pangkajene yang
artinya percabangan air. Menjelang hulu sungai ke arah barat, ada dua kali
sungai ini bercabang. Makanya orang kemudian menyebutnya Pangkajene. Hijau air
sungai pecah oleh perahu-perahu dari pulau terdekat. Buih ombak bergelora
seperti bahagianya orang-orang bersarung dari pulau ketika menginjak kota
Pangkajene. Mereka berangkat dini hari dari pulau sehingga sarung adalah
satu-satunya alat penahan dingin. Hari itu hari Minggu. Ramai penduduk pulau berdatangan
seolah-olah ingin melepaskan diri dari kesunyian pulau yang sejauh mata memandang,
hanya biru laut yang menyatu dengan biru langit tanpa ada batas. Pada hari
biasa, yang datang hanyalah perahu pembawa ikan hasil tangkapan nelayan di
pulau. Perahu-perahu yang dikenal dengan nama “jolloro” terparkir di sebelah
barat jembatan. Pasar tradisionil Pangkep merupakan tujuan utama mereka. Tempat
memuntahkan kerinduan pada keramaian.
Rumah-rumah berjejeran di pinggir sungai.
Tampak pula rumah orang tuaku yang bagian belakangnya sudah lapuk sebagian di
makan usia. Dua ratus meter ke arah timur, jembatan lama seolah cemburu
dengan keindahan jembatan baru yang
berhias lampu dan di cat warna kuning dan biru. Aspal di jembatan lama yang
datar sudah mulai berlobang di sana sini. Bahkan ada lubang yang menganga
membuat setiap kendaraan harus pelan-pelan. Tidak seperti jembatan baru yang
masih montok dan mulus. Pada malam hari, jembatan baru sangat cantik dengan
lampu hiasnya yang berkelap-kelip di sisi lengannya yang kokoh.
Angin semilir di pagi hari mengusap lembut wajahku. Sinar
mentari pagi yang masih bersahabat kunikmati kehangatannya. Tidak seperti
hari-hari lain. Hari ini segalanya kuanggap istimewa. Genggaman mungil tangan
anak-anakku seolah tak rela berpisah dengan abinya. Atau malah saya yang tidak
rela? Ah, kubuang jauh-jauh perasaan itu.
“Yuk kita pulang, nanti
kita mampir beli sepeda buat Ammar!” ajakku.
“Holeee, aku mau dapat
sepeda baluuu...!” Ammar berteriak kegirangan.
Sebuah sepeda kecil warna ungu. Kini Ammar berlatih
memakai dengan bantuan 2 roda kecil. Aku sibuk menjaganya. Terkadang sepeda itu
oleng karena ban kecilnya tak sanggup mengimbangi.
“Sudah, lepas aja Abi”!
Abdurrahman berteriak sambil mengayuh sepedanya juga mengikuti Ammar.
“Hati-hati ya!”
Kutatap pemandangan
menarik itu. Ya, aku akan kehilangan pemandangan ini selama 5 bulan. Lagi-lagi
sentimen keharuan memuncak didadaku. Segera kualihkan pandanganku dan masuk ke
rumah sebelum setes air terasa akan jatuh. Kuberesi tas dan bagasi yang akan
kubawa. Satu dus kerajinan khas Sulawesi beserta buku dan VCD parawisata. Satu
dus makanan ringan dan obat-obatan. Satu tas pakaian serta satu ransel tempat
tempat nyimpan kebutuhan selama di pesawat. Semua sudah beres. Pukul 11.30,
saatnya kuberkemas. Pukul 1 siang aku harus ke bandara karena pesawat berangkat
pukul setengah empat.
“Abi makan dulu lah!”
Istriku mengingatkan.
“Ayo, kita makan bareng!”
ajakku.
Kupandangi istriku yang
menyendokkan sebutir telur dadar ke piringku.
“Ummi sedih juga?”
tanyaku, sebuah pertanyaan bodoh.
“Ya, sedih sih sedih.
Tapi kan ini untuk kebaikan Abi dan tentunya kami semua akan merasakan
manfaatnya suatu saat kelak!”
“Tapi gimana Abdurrahman, dia kan paling
sulit dikendalikan?” tanyaku. Aku mengingat saat Abdurrahman ikut mengantarku
ke Jakarta sewaktu ingin mengurus Visa di Kedubes Amerika. Dia ikut ke bandara.
Sewaktu saya akan masuk ke ruang tunggu, dia tidak mau melepasku. Dia meronta
ingin ikut. Bujuk rayu dari ibuku tak mempan. Istriku tidak ikut mengantar
karena Ammar dan si kecil Nawfal belum bangun waktu itu. Saudara-saudaraku yang
lain juga memaksa melepaskannya. Akhirnya saya menggendongnya menuju ke mobil
saudara. Saya minta mereka untuk pulang duluan. Mobil segera dinyalakan. Segera
kubawa anakku ke dalam mobil. Dia terus menangis, meronta tak ingin berpisah.
Saya jadi sedih. Mendung membuncah di dadaku. Kuberpaling tak sanggup
melihatnya. Mobil terpaksa berangkat tanpa sempat melepas kepergianku. Malah
saya yang melepas kepergian mereka. Kutatap mobil yang membawa anakku dengan
tangis dan teriakannya. Sampai hilang dari pandanganku dan sayup-sayup hilang
pula suara tangis itu. Abdurrahman memang yang paling dekat dan manja. Tak mau
tidur kalau tidak di dekatku. Tak ingin minum susu kalau bukan abinya yang
bikinkan. Tak sadar, buliran air mata menghangatkan pipiku. Kubiarkn aliran itu.
Kutumpahkan rasa sedih itu di tempat parkir. Kubayangkan kesedihan kalau
berangkat ke Amerika selama 5 bulan.
“Sabar ya nak, suatu
saat Abi akan bawa kalian semua naik pesawat. Saat ini Abi belum mampu. Insya
Allah sepulang dari Amerika, Abi akan bawa kalian”.
Anak-anakku memang
sering protes kepadaku saat melihat di televisi ada keluarga yang naik pesawat.
Mereka tanya, kapan mereka juga bisa seperti itu. Kuminta mereka bersabar.
Dengan gaji PNS golongan IIIa, rasanya hampir mustahil. Satu tiket PP ke Jakart
sama dengan gajiku sebulan.
Kami
diam mencari ide bagaimana menghindari tangisan anak-anak saat ku akan berangkat
ke USA. Lalu tiba-tiba sebuah ide berseliweran muncul di kepalaku, “Gini aja ummi,
biar ummi bawa anak-anak jalan ke Supermarket, lalu makan siang di situ. Habis
itu ummi bawa mereka ke permandian”.
“Ya, kayaknya itu jalan
terbaik”, jawab istriku.
Sehabis mandi, pukul 12.15. Adzan luhur berkumandang.
Seperti biasa, dengan Shogun tuaku kuberangkat ke masjid. Anak-anakku selalu
ikut di boncenganku. Biasanya kami berempat, tapi kali ini Abdullah tidak ikut
karena sudah di rumah omnya. Abdurrahman di belakang, Ammar di depan. Kunikmati
shalat luhur di masjid yang biasa kukunjungi. Yah, lima bulan akan kutinggalkan
tempat yang menjadi saksi shalat lima waktuku. Entah apa aku bisa bertemu
masjid di Amerika. Tapi hatiku agak terhibur karena dari internet kudapatkan
alamat Islamic Society of Clemson, berarti paling tidak ada tempat yang
dijadikan masjid.
Habis shalat, kukendarai motorku dengan perlahan. Siang yang
panas menyengat. Anak-anakku tetap ceria di boncenganku. Mereka belum terlalu
mengerti makna sebuah perpisahan yang panjang. Istriku selalu menghibur mereka.
“Nanti kalau Abi pergi, mukanya akan muncul di komputer. Jadi kalian bisa tetap
melihatnya”.
Pukul 12.50. Istriku mencium tanganku. Kupeluk dan kucium
wajahnya yang selalu menemani hari-hariku. Kuelus kepalanya yang terbalut
jilbab hitam yang panjang.
“Do’akan abi ya, biar
bisa tetap istiqamah”, pintaku.
“Insya Allah, abi juga
do’akan kami ya. Do’a musafir kan makbul”, kata istriku.
Abdurrahman dan Ammar
gembira karena tahu mereka akan diajak jalan oleh umminya. Apatah lagi ke
permandian, tempat yang mereka sangat sukai.
“Holee, Ammal pelgi
dulu ya abi. Nanti kalau pulang, abi mau dibelikan apa?”
Ku tak sanggup
menjawab.
“Ayo cepat ummi,
bentornya sudah menunggu”, kata Aburrahman sambil menarik tangan ummi dan adiknya.
“Ayo, salim dulu sama
Abi. Nanti kalau pulang, jangan cari abi ya?” Istriku memanggil mereka.
Mereka menyalami
tanganku sambil menciumnya. Kupeluk satu persatu seolah tak ingin terpisahkan.
Kucium wajah mereka dengan penuh perasaan. Mereka belum mengerti juga bahwa sebuah
perpisahan menanti kami di depan mata. Tapi aku bersyukur, paling tidak aku
melihat mereka berbahagia dan tertawa sebelum aku berangkat. Si kecil nawfal
tidak ikut. Dia tertidur di ayunan. Amahnya* yang menjaganya. Cuma Anisa dan
saudara-saudaraku yang ikut mengantarku ke bandara.
Pukul satu siang, segera kupamit dengan ibu mertuaku.
Walaupun diuji Allah dengan kehilangan penglihatan dalam sebuah kecelakaan,
tapi dia tidak mau berdiam diri. Dia tetap mengerjakan pekerjaan dapur. Memasak,
mencuci bahkan memotong kayu bakar. Dia tidak bisa kalau hanya berdiam diri.
“Saya pamit Bu, titip
anak-anak!” Kuraih tangannya dan kucium.
“Hati-hati nak ya, kami
selalu menunggu beritamu”.
Kumasuk ke kamarku.
Sunyi. Istri dan dua anakku sudah pergi. Nawfal terlelap di buai ayunannya.
Kusingkap ayunannya. Sebuah wajah mungil seolah tersenyum. Bulir-bulir keringat
di keningnya. Dia kepanasan. Ingin kucium wajahnya, tapi takut nanti terbangun.
Kutatap dalam-dalam wajahnya yang lucu.
“Abi pergi dulu nak.
Insya Allah kalau pulang, kamu sudah bisa berlari. Abi akan meraih ilmu
sebanyak mungkin di negeri orang. Abi akan mempersembahkan yang terbaik buat
kalian semua. Selama ini kalian hidup pas-pasan dengan gaji PNS untuk kita
bertujuh. Abi belum mampu membahagiakan kalian di masa kanak-kanak kalian
seperti teman-teman seusia kalian. Lagi-lagi bendungan kelopak mataku tak
sanggup menahan gelombang air. Pecah tangisku namun kucoba menahannya. Hati
kecilku berjanji untuk dapat memberi kehidupan yang lebih baik buat keluargaku.
Segera kuberangkat ke rumah orang
tuaku. Saudara-saudara yang mau mengantarku, menunggu di sana. Tiba di sana, ibuku
sudah derdiri di depan pintu. Di wajahnya terbayang kesedihan. Ayahku sudah
wafat 3 tahun lalu.
“Ah, dia tidak sempat
melihatku berangkat ke Amerika”, desahku.
Kuhampiri ibu dan
kucium tangannya. Diantara 7 orang bersaudara, sayalah yang paling dekat denga
ibu. Apatah lagi semenjak kematian ayah. Walaupun saya anak ke-6, tapi setiap
ada masalah keluarga, pasti harus nunggu pendapatku.
“Hati-hati di negeri
orang. Pandai-pandailah membawa diri nak”, nasehat ibuku.
“Ya bu, doakan saya ya
bu?”
Kucium keningnya yang
sudah mulai keriput. Kupandangi rambutnya yang mulai memutih. Tak ada lagi
kata-kata yang mengalir. Semua terwakili oleh aliran air mata. Tubuh tuanya
berdiri mematung melepas keberangkatanku. Perlahan mobil meninggalkan rumah
itu. Tapi ibu tetap berdiri, mematung dengan air matanya. Kulirik ke belakang,
dia masih di situ. Hingga mobil kami hilang dari pandangannya saat di belokan.
“Maafkan anakmu ibu,
yang belum mampu membahagiakan kamu. Aku belum mampu mengantarmu ke tanah suci
sesuai harapanmu. Hingga akhirnya ayah di panggil Allah. Ya, Allah, jangan
wafatkan ibuku sebelum mampu membawanya ke tanah suci. Cukup ayahku yang Engkau
panggil. Aku akan merasa sangat berdosa kalau belum memenuhi hajatnya ya
Allah”. Sebait do’a mengiringi perjalananku.
“Tilman Hall !”. Suara driver bus membuyarkan lamunanku.
Untuk Ibu, istri dan
anak-anakku. Salam kangen dari South Carolina.
* Roommate : teman satu
apartemen
Bendi : kereta kuda
Amah : tante
Tidak ada komentar:
Posting Komentar