Jumat, 13 Desember 2013

Prolog sebuah perjalanan


PERPISAHAN, ANTARA PANGKEP DAN CLEMSON
“Abi, jangan lupa belikan VCD Laskar Pelangi dan Ultramen ya !”
“Ya, Insya Allah kalau Abi sudah pulang, sabar ya?”

 Kalimat itu selalu membuka percakapan setiap kali kami chatting. Anak-anakku sangat ingin menonton filem Laskar Pelangi yang lagi booming, tapi di daerah kami tidak ada bioskop. Jadinya harus menunggu VCD aslinya direlease.
Lalu kemudian Ammar, anak ke-4 ku itu mulai memonyongkan mulutnya, membelalakkan matanya. Akupun pura-pura ketakutan dan kudengar tawa kecilnya dari speaker laptopku. Wajahnya yang lucu bergerak perlahan dalam layar kecil yang agak kabur. Mungkin karena koneksi internet yang kurang bagus di Indonesia. Lalu bergantian Anisa, putri tertua kami.
“Abi, tolong dong kasih lihat saljunya!”
“Wah, di negara bagian tempat Abi memang dingin, tapi belum sampe turun salju. Paling kalau pagi baru ada lapisan es di atap mobil yang parkir depan apartemen”.
“Mana program robot yang Abi janjikan itu?” Tanya Abdullah anak ke-2ku yang sudah kelas 3.
“Mentor Abi baru nyiapin programnya, nanti dikasih dengan alat peraganya, sabar yah!”
“Abi-abi, saya mau ke dekat Abi...!” Tiba-tiba Abdurrahman anak ke-3 ku ikut nimbrung.
“Sayang, disini jauh sekali dari Indonesia. Butuh 2 hari perjalanan naik pesawat baru sampe”, kataku lirih sambil menahan perih kerinduan. Ingin rasanya kumenembus layar LCD laptopku dan memeluk mereka satu-persatu. Baru 2 minggu kutinggalkan mereka, rasanya sudah seperti setahun.
            Layar memunculkan anak ke-5ku yang baru berumur 7 bulan, Nawfal. Istriku menggendongnya.
“Semalam nawfal agak demam, kayaknya kena serampah. Tapi panasnya udah keluar, so jangan cemas yah!” Hibur istriku.
“Syukurlah, kabar adindaku sendiri gimana? Apa masih sakit gigi?”
“Alhamdulillah sudah agak baikan, insya Allah habis terima gajinya abi baru ditambal, soalnya bayarnya mahal”.
“Abi sebenarnya mau ngririm duit, tapi belum cair dana dari cheknya”.
“Ah, nggak usah dipaksakan. Udah dulu ya kandaku, nanti kami bayarnya mahal. Kalau disitukan gratis”.
“Semangaaaat Abi,  semangaaaat!” Anak-anakku berteriak dari balik layar. Mereka diajarin umminya untuk memberiku semangat agar bertahan sampe program selesai 5 bulan. Yah, 5 bulan. Sebuah program pelatihan Guru international yang diikuti 78 orang dari 16  negara berkembang. Kami akan kuliah satu semester sambil ikut ngajar di SMA di Amerika. Aku ditempatkan di South Carolina bersama 13 orang guru lainnya.
                                                            ----------------------
            “Yeah, another day” kata Victor, roommate*-ku dari South Afrika. Desahan nafasnya mengisyarakatkan ketersiksaan menghitung hari yang terasa bergerak seperti keong. Diapun sudah berkeluarga denga 3 orang anak. Namun sayangnya keluarganya belum biasa pake internet untuk komunikasi, jadinya dia hanya puas mendengar suara istri dan anak-anaknya lewat telepon. Pagi itu seperti biasa kami berjalan menunggu bus yang lewat setiap 30 menit. Suhu dingin mendekati 0oC terasa menusuk hingga ke tulang-tulang. Udara kering dengan kelembaban cuma sekitar 50% memperparah suasana. Dingin tapi kering. Bibir sampe pecah-pecah dan kadang berdarah. Wintercoat yang saya bawa seolah tak mempan menahan dingin. Padahal di dalamnya saya sudah pake jaket kain, baju luar  dan baju dalam. Empat susun baju tak mampu mengusir dingin winter awal Januari. Kos tangan dan penutup kepala cukup membantu memeperlambat pembekuan aliran darah.  Tapi kalau terlalu lama diluar, bisa parah juga akibatnya, apatah lagi buat pendatang yang tidak terbiasa dengan iklim dingin.
Pohon-pohon menggugurkan daunnya, mungkin karena tak sanggup menyuplai air atau karena keringnya udara di kedinginan. Bahkan kulit batangnya ikut terkelupas seolah telanjang. Jadinya seperti tengkorak pohon. Pemandangan yang unik, seolah-olah pohon itu sudah mati. Tapi tetap bertahan dengan kokohnya. Saat Spring (musim semi) tiba, seolah daun-daun yang berguguran kembali pada rantingnya, pepohonan kembali memakai baju yang dilepaskannya. Hidup, bersemi kembali sesuai nama musimnya.
Burung gagak hitam beterbangan seolah menantang hawa dingin. Tupai-tupai kecil berlompatan dari satu dahan kering ke dahan lainnya. Kadang turun ke tanah dengan lincahnya memungut sesuatu dan berlari kembali ke atas pohon. Seolah mengejek manusia yang kedinginan walaupun sudah pake wintercoat. Hanya kedua jenis mahluk itu yang bertahan bermain di luar.
Dari kejauhan muncullah bus yang akan mengantar kami ke Clemson University. Clemson Area Transit (CAT) seolah ingin mempertegas ikon kota Clemson yaitu tapak harimau alias kucing besar dengan warna khasnya, orange. Bus berhenti, dengan ramahnya sang sopir seorang wanita  menegur setiap penumpang yang naik.
“Hello, how are you?.
            Bayanganku kembali ke tanah air.  Pagi sebelum keberangkatan, kubawa Ammar dan Abdurrahman berkeliling dengan memakai bentor, sebuah kendaraan yang menggabungkan becak dan motor.  Kupeluk kedua anakku itu. Abdullah berangkat ke rumah omnya kemarin, seolah tak ingin berada di detik-detik keberangkatanku. Sepanjang jalan, kunikmati dekapan kedua anakku.
“Ammar mau beli sepeda?” tanyaku lirih.
“Ya, abi. Aku mau sepeda. Kan baru Abdurrahman sama Abdullah yang ada sepedanya”.
“Nanti ya, kita singgah di toko sepeda. Kita ke jembatan baru dulu ya, abi mau ambil foto di situ”.
Jembatan baru  membelah kota Pangkep, sebuah kota kecil di Sulawesi Selatan. Pangkep merupakan singkatan dari Pangkajene dan Kepulauan. Dinamakan kepulauan karena terdapat hampir 100 pulau di kabupaten kami yang bahkan ada sampai berbatasan dengan Nusa Tenggara, Bali dan Jawa. Penduduk di kepulauan tersebut lebih suka berbelanja ke Lombok, Bali atau bahkan ke Jawa dari pada ke kota Pangkep karena perhitungan jarak.
            Kuambil beberapa gambar di atas jembatan. Foto bentor, bendi* dan becak yang lewat kuambil sebagai kendaraan khas Pangkep. Mungkin suatu saat akan bermanfaat di US kelak, pikirku. Foto anak-anakku dengan latar belakang sungai Pangkajene. Ya, Pangkajene yang artinya percabangan air. Menjelang hulu sungai ke arah barat, ada dua kali sungai ini bercabang. Makanya orang kemudian menyebutnya Pangkajene. Hijau air sungai pecah oleh perahu-perahu dari pulau terdekat. Buih ombak bergelora seperti bahagianya orang-orang bersarung dari pulau ketika menginjak kota Pangkajene. Mereka berangkat dini hari dari pulau sehingga sarung adalah satu-satunya alat penahan dingin. Hari itu hari Minggu. Ramai penduduk pulau berdatangan seolah-olah ingin melepaskan diri dari kesunyian pulau yang sejauh mata memandang, hanya biru laut yang menyatu dengan biru langit tanpa ada batas. Pada hari biasa, yang datang hanyalah perahu pembawa ikan hasil tangkapan nelayan di pulau. Perahu-perahu yang dikenal dengan nama “jolloro” terparkir di sebelah barat jembatan. Pasar tradisionil Pangkep merupakan tujuan utama mereka. Tempat memuntahkan kerinduan pada keramaian.
 Rumah-rumah berjejeran di pinggir sungai. Tampak pula rumah orang tuaku yang bagian belakangnya sudah lapuk sebagian di makan usia. Dua ratus meter ke arah timur, jembatan lama seolah cemburu dengan  keindahan jembatan baru yang berhias lampu dan di cat warna kuning dan biru. Aspal di jembatan lama yang datar sudah mulai berlobang di sana sini. Bahkan ada lubang yang menganga membuat setiap kendaraan harus pelan-pelan. Tidak seperti jembatan baru yang masih montok dan mulus. Pada malam hari, jembatan baru sangat cantik dengan lampu hiasnya yang berkelap-kelip di sisi lengannya yang kokoh.
            Angin semilir di pagi hari mengusap lembut wajahku. Sinar mentari pagi yang masih bersahabat kunikmati kehangatannya. Tidak seperti hari-hari lain. Hari ini segalanya kuanggap istimewa. Genggaman mungil tangan anak-anakku seolah tak rela berpisah dengan abinya. Atau malah saya yang tidak rela? Ah, kubuang jauh-jauh perasaan itu. 
“Yuk kita pulang, nanti kita mampir beli sepeda buat Ammar!” ajakku.
“Holeee, aku mau dapat sepeda baluuu...!” Ammar berteriak kegirangan.
            Sebuah sepeda kecil warna ungu. Kini Ammar berlatih memakai dengan bantuan 2 roda kecil. Aku sibuk menjaganya. Terkadang sepeda itu oleng karena ban kecilnya tak sanggup mengimbangi.
“Sudah, lepas aja Abi”! Abdurrahman berteriak sambil mengayuh sepedanya juga mengikuti Ammar.
“Hati-hati ya!”
Kutatap pemandangan menarik itu. Ya, aku akan kehilangan pemandangan ini selama 5 bulan. Lagi-lagi sentimen keharuan memuncak didadaku. Segera kualihkan pandanganku dan masuk ke rumah sebelum setes air terasa akan jatuh. Kuberesi tas dan bagasi yang akan kubawa. Satu dus kerajinan khas Sulawesi beserta buku dan VCD parawisata. Satu dus makanan ringan dan obat-obatan. Satu tas pakaian serta satu ransel tempat tempat nyimpan kebutuhan selama di pesawat. Semua sudah beres. Pukul 11.30, saatnya kuberkemas. Pukul 1 siang aku harus ke bandara karena pesawat berangkat pukul setengah empat.
“Abi makan dulu lah!” Istriku mengingatkan.
“Ayo, kita makan bareng!” ajakku.
Kupandangi istriku yang menyendokkan sebutir telur dadar ke piringku.
“Ummi sedih juga?” tanyaku, sebuah pertanyaan bodoh.
“Ya, sedih sih sedih. Tapi kan ini untuk kebaikan Abi dan tentunya kami semua akan merasakan manfaatnya suatu saat kelak!”
  “Tapi gimana Abdurrahman, dia kan paling sulit dikendalikan?” tanyaku. Aku mengingat saat Abdurrahman ikut mengantarku ke Jakarta sewaktu ingin mengurus Visa di Kedubes Amerika. Dia ikut ke bandara. Sewaktu saya akan masuk ke ruang tunggu, dia tidak mau melepasku. Dia meronta ingin ikut. Bujuk rayu dari ibuku tak mempan. Istriku tidak ikut mengantar karena Ammar dan si kecil Nawfal belum bangun waktu itu. Saudara-saudaraku yang lain juga memaksa melepaskannya. Akhirnya saya menggendongnya menuju ke mobil saudara. Saya minta mereka untuk pulang duluan. Mobil segera dinyalakan. Segera kubawa anakku ke dalam mobil. Dia terus menangis, meronta tak ingin berpisah. Saya jadi sedih. Mendung membuncah di dadaku. Kuberpaling tak sanggup melihatnya. Mobil terpaksa berangkat tanpa sempat melepas kepergianku. Malah saya yang melepas kepergian mereka. Kutatap mobil yang membawa anakku dengan tangis dan teriakannya. Sampai hilang dari pandanganku dan sayup-sayup hilang pula suara tangis itu. Abdurrahman memang yang paling dekat dan manja. Tak mau tidur kalau tidak di dekatku. Tak ingin minum susu kalau bukan abinya yang bikinkan. Tak sadar, buliran air mata menghangatkan pipiku. Kubiarkn aliran itu. Kutumpahkan rasa sedih itu di tempat parkir. Kubayangkan kesedihan kalau berangkat ke Amerika selama 5 bulan.
“Sabar ya nak, suatu saat Abi akan bawa kalian semua naik pesawat. Saat ini Abi belum mampu. Insya Allah sepulang dari Amerika, Abi akan bawa kalian”.
Anak-anakku memang sering protes kepadaku saat melihat di televisi ada keluarga yang naik pesawat. Mereka tanya, kapan mereka juga bisa seperti itu. Kuminta mereka bersabar. Dengan gaji PNS golongan IIIa, rasanya hampir mustahil. Satu tiket PP ke Jakart sama dengan gajiku sebulan.
            Kami diam mencari ide bagaimana menghindari tangisan anak-anak saat ku akan berangkat ke USA. Lalu tiba-tiba sebuah ide berseliweran muncul di kepalaku, “Gini aja ummi, biar ummi bawa anak-anak jalan ke Supermarket, lalu makan siang di situ. Habis itu ummi bawa mereka ke permandian”.
“Ya, kayaknya itu jalan terbaik”, jawab istriku.
            Sehabis mandi, pukul 12.15. Adzan luhur berkumandang. Seperti biasa, dengan Shogun tuaku kuberangkat ke masjid. Anak-anakku selalu ikut di boncenganku. Biasanya kami berempat, tapi kali ini Abdullah tidak ikut karena sudah di rumah omnya. Abdurrahman di belakang, Ammar di depan. Kunikmati shalat luhur di masjid yang biasa kukunjungi. Yah, lima bulan akan kutinggalkan tempat yang menjadi saksi shalat lima waktuku. Entah apa aku bisa bertemu masjid di Amerika. Tapi hatiku agak terhibur karena dari internet kudapatkan alamat Islamic Society of Clemson, berarti paling tidak ada tempat yang dijadikan masjid.
            Habis shalat, kukendarai motorku dengan perlahan. Siang yang panas menyengat. Anak-anakku tetap ceria di boncenganku. Mereka belum terlalu mengerti makna sebuah perpisahan yang panjang. Istriku selalu menghibur mereka. “Nanti kalau Abi pergi, mukanya akan muncul di komputer. Jadi kalian bisa tetap melihatnya”.
            Pukul 12.50. Istriku mencium tanganku. Kupeluk dan kucium wajahnya yang selalu menemani hari-hariku. Kuelus kepalanya yang terbalut jilbab hitam yang panjang.
“Do’akan abi ya, biar bisa tetap istiqamah”, pintaku.
“Insya Allah, abi juga do’akan kami ya. Do’a musafir kan makbul”, kata istriku.
Abdurrahman dan Ammar gembira karena tahu mereka akan diajak jalan oleh umminya. Apatah lagi ke permandian, tempat yang mereka sangat sukai.
“Holee, Ammal pelgi dulu ya abi. Nanti kalau pulang, abi mau dibelikan apa?”
Ku tak sanggup menjawab.
“Ayo cepat ummi, bentornya sudah menunggu”, kata Aburrahman sambil menarik tangan ummi dan adiknya.
“Ayo, salim dulu sama Abi. Nanti kalau pulang, jangan cari abi ya?” Istriku memanggil mereka.
Mereka menyalami tanganku sambil menciumnya. Kupeluk satu persatu seolah tak ingin terpisahkan. Kucium wajah mereka dengan penuh perasaan. Mereka belum mengerti juga bahwa sebuah perpisahan menanti kami di depan mata. Tapi aku bersyukur, paling tidak aku melihat mereka berbahagia dan tertawa sebelum aku berangkat. Si kecil nawfal tidak ikut. Dia tertidur di ayunan. Amahnya* yang menjaganya. Cuma Anisa dan saudara-saudaraku yang ikut mengantarku ke bandara.
            Pukul satu siang, segera kupamit dengan ibu mertuaku. Walaupun diuji Allah dengan kehilangan penglihatan dalam sebuah kecelakaan, tapi dia tidak mau berdiam diri. Dia tetap mengerjakan pekerjaan dapur. Memasak, mencuci bahkan memotong kayu bakar. Dia tidak bisa kalau hanya berdiam diri.
“Saya pamit Bu, titip anak-anak!” Kuraih tangannya dan kucium.
“Hati-hati nak ya, kami selalu menunggu beritamu”.
Kumasuk ke kamarku. Sunyi. Istri dan dua anakku sudah pergi. Nawfal terlelap di buai ayunannya. Kusingkap ayunannya. Sebuah wajah mungil seolah tersenyum. Bulir-bulir keringat di keningnya. Dia kepanasan. Ingin kucium wajahnya, tapi takut nanti terbangun. Kutatap dalam-dalam wajahnya yang lucu.
“Abi pergi dulu nak. Insya Allah kalau pulang, kamu sudah bisa berlari. Abi akan meraih ilmu sebanyak mungkin di negeri orang. Abi akan mempersembahkan yang terbaik buat kalian semua. Selama ini kalian hidup pas-pasan dengan gaji PNS untuk kita bertujuh. Abi belum mampu membahagiakan kalian di masa kanak-kanak kalian seperti teman-teman seusia kalian. Lagi-lagi bendungan kelopak mataku tak sanggup menahan gelombang air. Pecah tangisku namun kucoba menahannya. Hati kecilku berjanji untuk dapat memberi kehidupan yang lebih baik buat keluargaku.
            Segera kuberangkat ke rumah orang tuaku. Saudara-saudara yang mau mengantarku, menunggu di sana. Tiba di sana, ibuku sudah derdiri di depan pintu. Di wajahnya terbayang kesedihan. Ayahku sudah wafat 3 tahun lalu.
“Ah, dia tidak sempat melihatku berangkat ke Amerika”, desahku.
Kuhampiri ibu dan kucium tangannya. Diantara 7 orang bersaudara, sayalah yang paling dekat denga ibu. Apatah lagi semenjak kematian ayah. Walaupun saya anak ke-6, tapi setiap ada masalah keluarga, pasti harus nunggu pendapatku.
“Hati-hati di negeri orang. Pandai-pandailah membawa diri nak”, nasehat ibuku.
“Ya bu, doakan saya ya bu?”
Kucium keningnya yang sudah mulai keriput. Kupandangi rambutnya yang mulai memutih. Tak ada lagi kata-kata yang mengalir. Semua terwakili oleh aliran air mata. Tubuh tuanya berdiri mematung melepas keberangkatanku. Perlahan mobil meninggalkan rumah itu. Tapi ibu tetap berdiri, mematung dengan air matanya. Kulirik ke belakang, dia masih di situ. Hingga mobil kami hilang dari pandangannya saat di belokan.
“Maafkan anakmu ibu, yang belum mampu membahagiakan kamu. Aku belum mampu mengantarmu ke tanah suci sesuai harapanmu. Hingga akhirnya ayah di panggil Allah. Ya, Allah, jangan wafatkan ibuku sebelum mampu membawanya ke tanah suci. Cukup ayahku yang Engkau panggil. Aku akan merasa sangat berdosa kalau belum memenuhi hajatnya ya Allah”. Sebait do’a mengiringi perjalananku.
            “Tilman Hall !”. Suara driver bus membuyarkan lamunanku.

Untuk Ibu, istri dan anak-anakku. Salam kangen dari South Carolina.


* Roommate : teman satu apartemen
   Bendi : kereta kuda
   Amah : tante

Tidak ada komentar:

Posting Komentar